KAJIAN OLEH :
PERHIMPUNAN MAHASISWA KATOLIK REPUBLIK INDONESIA (PMKRI) CABANG MANADO ST. THOMAS AQUINAS
Rancangan Undang Undang TNI : Legitimasi Dwifungsi TNI?
A. Latar Belakang
Politik Indonesia pasca kemerdekaan sampai saat ini masih dipegang oleh dua kelompok Elit, yaitu sipil dan militer. Politisi sipil mulai Dominan sejak tahun 1945 sampai tahun 1965, sementara politisi militer sejak tahun 1966 sampai pertengahan tahun 1998 atau Selama Orde Baru. Ciri yang sangat menonjol dalam Orde Baru adalah dominannya peran ABRI dalam pentas politik nasional. Berbagai sektor, di luar sektor pertahanan, tidak terlepas dari unsur politisi militer baik politik, sosial, bahkan merambah ke sektor-sektor ekonomi. Undang -Undang Nomor 2 Tahun 1988 pasal 6, menjadi landasan hukum yang mengatur mengenai dwifungsi ABRI, Landasan hukum tersebut menjadi doktrin akan fungsi ganda militer, tidak hanya sebagai alat pertahanan, tetapi bisa masuk sebagai kekuatan sosial politik bahkan ekonomi.
Dwifungsi ABRI sendiri dicetuskan oleh Jendral A.H Nasution dengan sebutan “Jalan Tengah” , doktrin ini timbul karena pada saat itu ABRI tidak ingin hanya menjadi alat belaka dalam pemerintahan yang di kuasai oleh politisi sipil, namun menginginkan kekuasaan mutlak pada kontestasi politik seperti banyak rezim militer pada negara lain. Sebagai implementasinya, militer dapat masuk diberbagai sektor baik di dalam maupun diluar institusi demi menjaga stabilitas nasional dalam sistem politik yang berlaku saat itu. Tingkat kepercayaan dan Dominasi militer memungkinkan ekspansi peran prajurit diberbagai sektor sipil, yang berakibat banyak anggota militer duduk di berbagai posisi strategis baik pemerintahan maupun lembaga lainnya.
Seiring berjalannya waktu, dominasi militer dalam berbagai sektor mulai menunjukan otoritasnya. Dominasi militer yang begitu luas dan kuat diberbagai sektor pemerintahan dan lembaga, menciptakan suasana represif. Berbagai permasalahan timbul sebagai akibat dari ketidak profesionalnya militer dalam memegang kekuasaan diberbagai sektor. Puncaknya masyarakat melakukan tuntutan perubahan secara besar besaran terhadap tubuh militer indonesia, yang sering dikenal sebagai gerakan “Reformasi TNI”. Tuntutan akan reformasi tersebut menandai adanya pergesaran paradigma akan militer untuk dikembalikan fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara, serta memisahkan militer dari ranah politik dan birokasi sipil.
Pada Pasal 30 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa pertahanan negara menggunakan sistem pertahanan rakyat semesta, dengan TNI sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai pendukung. Sistem ini lahir dari pengalaman sejarah perjuangan Indonesia dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, di mana keterpaduan antara rakyat dan militer menjadi faktor kunci. Sistem pertahanan rakyat semesta melibatkan seluruh rakyat, wilayah, dan sumber daya nasional secara aktif, terpadu, terarah, dan berkelanjutan.
Pada hari kamis 20 maret DPR RI telah mengesahkan RUU TNI lewat Rapat Paripurna tahun 2025. Sebelum pengesahan RUU TNI, Komisi I DPR RI telah menggelar rapat pada 25 November 2024 dengan pembahasan Rancangan Undang Undang TNI No 34 Tahun 2004 yang di hadiri oleh Menteri Pertahanan Sjamsoeddin, Panglima TNI Agus Subiyanto yang di dampingi oleh Kepala Staf Angkatan Darat Maruli Simanjuntak, Kepala staf Angkatan Laut Muhammad Ali, dan Kepala Staf Angkatan Udara Mohammad Tonny Harjono. Beberapa bulan kemudian tepatnya 14-15 Maret 2025 DPR melakukan pembahasan mengenai Rancangan Undang Undang TNI secara tertutup tanpa melibatkan publik di sebuah hotel mewah Fairmont, Jakarta. Sebelumnya RUU TNI tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, lewat Surat Presiden No. R12/Pres/02/2025 pada tanggal 13 Februari 2025 menjadikan RUU TNI masuk dalam Prolegnas Prioritas setelah disetujui pada rapat paripurna DPR RI.
Sejumlah pasal yang telah disahkan dalam RUU TNI dianggap memiliki permasalahan di dalamnya, seperti :
1. Pasal 3 ayat (2) “Kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi yang berkaitan dengan aspek perencanaan strategis TNI, berada di dalam koordinasi Kementerian Pertahanan.” Dalam undang undang No.34 Tahun 2004, TNI dibawah naungan presiden dan apabila dialihkan dalam naungan menteri pertahanan, maka akan berpotensi menggagu stabilitas negara dan ketimpangan dalam struktur komando militer.
2. Pasal 47 Ayat 2 undang undang No.34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur Bahwa seorang TNI aktif tidak boleh menjabat di kementerian atau lembaga Sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun. Namun dalam RUU TNI Terbaru, perwira TNI aktif dapat menjabat di 16 kementerian/lembaga (K/L) Berikut: Koordinator Bididang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara termasuk dewan pertahanan nasional, kesekretariatan negara yang menangani urusan kesekretariatan Presiden dan kesekretariatan militer presiden, Intelijen Negara, Siber/Sandi Negara, Lemhannas, Dewan Pertahanan Nasional (DPN), SAR Nasional, Narkotika Nasional, Kelautan dan Perikanan, BNPB, BNPT, Keamanan Laut, Kejagung, Mahkamah Agung, Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
Pada pasal ini juga menjelaskan bahwa TNI Aktif dapat menduduki jabatan sipil sesuai peraturan yang diatur dalam UU serta jabatan lainnya sesuai dengan kebutuhan Presiden. Hal ini menunjukan bahwa kedudukan TNI dalam pemerintahan tidak ada batasan sehingga tidak ada pembeda antara jabatan militer dan juga sipil. Pada RUU ini juga menjelaskan bahwa TNI dapat menduduki jabatan sipil setelah pensiun atau mengundurkan diri dari dinas militernya.
3. Pasal 53 menjelaskan mengenai perpanjangan usia pensiun hingga usia 62 Tahun. Jika usia pensiun diperpanjang kemungkinan perwira tinggi yang masih aktif memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terlibat aktif dalam jabatan sipil, di samping itu panjangnya masa pensiun dapat menyebabkan regenerasi kedudukan jabatan dalam tubuh TNI terhambat, dan juga usia pensiun yang panjang membebani anggaran negara dalam membiayai sejumlah tentara aktif.
B. Kajian Teori
1. Teori Supremasi Sipil
Dalam Jurnal Armed Forces & Society tahun 1992 menjelaskan mengenai teori supremasi sipil. Kenneth W. Kemp dan Charles Hudlin menjelaskan bahwa supremasi sipil adalah tradisi demokrasi yang mengedepankan kekuasaan sipil lebih tinggi dari pada kekuasaan militer. Dalam konsep supremasi sipil mencegah terjadinya dominasi militer dalam pengambilan kebijakan strategis negara yang mengedepankan kepentingan elit militer ketimbang rakyat. Setiawan et al, 2013 menjelaskan bahwa supremasi sipil tidak hanya berkaitan dengan pengaturan formal melalui undang undang, tetapi harus di ikuti oleh reformasi struktural serta doktrinal dalam institusi militer. Reformasi tersebut sangat penting untuk mengubah budaya dan paradigma lampau pada sejarah politik yang otoriter, sehingga militer dapat beroprasi secara profesional dan tidak terlibat lebih jauh dalan ranah politik.
RUU TNI yang memungkinkan penempatan prajurit aktif dalam lebih banyak jabatan sipil dapat menimbulkan kontradiksi antara peran militer dan sipil yang dapat berpengaruh pada melemahnya supremasi sipil, dengan membatasi keterlibatan militer dalam pemerintahan dapat menjaga stabilitas demokrasi.
2. Teori pertahanan negara
Kata pertahanan berasal dari kata tahan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata tahan berarti “dalam keadaan tetap meskipun mengalami berbagai hal”. Dengan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pertahanan merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi atau keadaan khusus yang stabil (Susilo. C Dwi, 2012). Defenisi pertahanan negara dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara adalah segala usaha untuk mempertahanankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia menyatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia dibangun Dan dikembangkan secara profesional sesuai kepentingan politik Negara, mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, Hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum Internasional yang sudah diratifikasi, dengan dukungan anggaran Belanja negara yang dikelola secara transparan dan akuntabel.
Pertahanan negara disusun berdasarkan prinsip demokrasi, hak Asasi manusia, kesejahteraan umum, lingkungan hidup, ketentuan Hukum nasional, hukum internasional dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara damai, dengan Memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan
3. Hukum dan Keadilan dalam Yuridiksi Peradilan Militer
Dalam beberapa lembaga yang bisa di masuki TNI, salah satunya merupakan Kejaksaan Agung. Pada permasalahan ini sangat tidak relevan sebab fungsi TNI sebagai alat pertahanan, bukan sebagai penegak hukum. Amnesty International Indonesia mengkritik bahwa anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum seharusnya diadili di peradilan umum, bukan peradilan militer. Hal ini berkaitan dengan asas kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law) yang tercantum dalam Pasal 27 UUD 1945. Ini tentunya merujuk pada beberapa regulasi yang mendukung hal ini, seperti: TAP MPR No. VII/MPR/2000, yang menyatakan bahwa prajurit TNI tunduk pada peradilan umum jika melakukan tindak pidana umum. Pasal 65 ayat (2) UU TNI 2004, yang juga mengatur bahwa anggota TNI harus tunduk pada peradilan umum untuk kasus pidana umum.
Seringkali peradilan militer menjadi sarana impunitas bagi para anggota militer yang memiliki masalah Pada Tindak Pidana Umum dikarenakan tidak adanya transparansi akan hukuman yang diberikan. Sehingga perlunya penyetaraan hukum kepada seluruh anggota militer, bukan dengan memasukan militer kedalam kejaksaan agung. Oleh karena itu, RUU TNI 2024 seharusnya tidak hanya memperbarui kebijakan internal TNI, tetapi juga mendorong revisi terhadap UU No. 31 Tahun 1997 agar lebih sesuai dengan perkembangan hukum nasional dan demokrasi. Jika tidak, maka hukum militer akan tetap berjalan sesuai dengan UU No. 31 Tahun 1997, yang berarti tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI masih akan diadili di peradilan militer, bukan peradilan umum. Hal ini akan memperkuat impunitas dan mencederai prinsip negara hukum, serta berpotensi melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang adil dan transparan. Oleh sebab itu, revisi UU Peradilan Militer harus menjadi bagian dari reformasi yang menyertai RUU TNI 2024, agar sistem peradilan di Indonesia lebih adil dan tidak diskriminatif.
C. Pembahasan
Dalam sistem demokrasi, militer seharusnya berfungsi sebagai alat pertahanan negara di bawah kendali pemerintah sipil, bukan sebagai aktor utama dalam pengambilan keputusan politik dan kebijakan publik. Jika peran militer melampaui batas yang seharusnya, maka supremasi sipil dapat melemah, yang berpotensi mengarah pada pemerintahan yang lebih otoriter dan represif. Keterlibatan militer yang berlebihan dalam pemerintahan dan kehidupan sipil dapat membawa berbagai konsekuensi serius bagi demokrasi, supremasi sipil, dan stabilitas negara. Berkaca pada pemerintaha. Orde baru dimana militer banya menguasai berbagai sektor pemerintahan sehingga menjadi penentu berbagai kebijakan yang keluar tanpa partisipasi rakyat sehingga terjadi instabilitas politik dalam tubuh pemerintah.
Salah satu dampak utama dari dominasi militer dalam pemerintahan adalah militerisasi birokrasi, di mana keputusan pemerintahan lebih bersifat hierarkis, tidak partisipatif dan satu arah/komando. Ketika jabatan-jabatan sipil diisi oleh prajurit aktif atau pensiunan militer, mekanisme demokrasi dan transparansi dalam pengambilan keputusan dapat tergerus. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan pendekatan keamanan dalam kebijakan sipil, yang sering kali lebih mengutamakan stabilitas/keamanan dibandingkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam segi Hak Asasi Manusia sering kali diduakan karena dalam dominasi militer di dunia pemerintanan lebih menekankan pendekatan represif tanpa adanya pendekatan personal dalam mendengarkan pendapat serta protes. Negara yang menggunakan pelibatan militer secara berlebih sering mengalami peningkatan dalam kasus kekerasan baik pembunuhan maupun penculikan atau penyiksaan. berkaca dengan kasus era orde baru dimana pelibatan militer secara aktif dan masih menyebabkan banyak aktivis serta masyarakat yang menjadi korban kekerasaan, penyiksaan, serta pembunuhan.
Selain supremasi sipil perlu adanya supremasi hukum, kekuasaan militer yang terlalu luas dapat melemahkan akuntabilitas dan pengawasan terhadap mereka. Salah satu contohnya adalah peradilan militer yang masih digunakan untuk mengadili anggota militer yang melakukan tindak pidana umum. Dalam banyak kasus, peradilan militer cenderung memberikan hukuman yang lebih ringan dibandingkan peradilan sipil, yang menciptakan impunitas bagi pelaku kejahatan dari kalangan militer. Oleh karena itu, banyak negara demokrasi telah mereformasi sistem peradilan militer mereka, memastikan bahwa anggota militer yang melakukan tindak pidana umum tetap tunduk pada hukum yang sama seperti warga sipil lainnya.
Oleh karena itu, negara-negara yang ingin mempertahankan stabilitas politik dan supremasi sipil harus memastikan bahwa peran militer tetap terbatas pada fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara, bukan sebagai aktor utama dalam politik dan pemerintahan.
Referensi :
Anwar. 2018. Dwi Fungsi ABRI :Melacak Sejarah Keterlibatan ABRI dalam Kehidupan Sosial Politik dan PerekonomianIndonesia. Adibaya : jurnal sosial politik. 20 (1). https://jurnal.ar raniry.ac.id/index.php/adabiya/article/download/6776/4069
Anwar, D. F. (2002). Gus Dur Versus Militer: Studi tentang Hubungan Sipil–Militer di Era Transisi. Jakarta: Gramedia.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2024). Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Jakarta: DPR RI.
Halawa, Y., subaryana, Kaswati. A,. 2022. Masa Orde Baru dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Bangsa Indonesia Tahun 1966-1977. Tjantrik : Jurnal sejarah dan Pendidikan sejarah. 1 (1).
Setiawan, D., Octavianus, C., Janis, D., Winadi, G., Abdullah, Y., Umasugi, T., & Suyuti, H. (2013). Perkembangan Hubungan Militer Dengan Sipil di Indonesia. Global and Policy Journal of International Relations, 1(01).
https://s2kesmas.fkm.unair.ac.id/reformasi-kemarin-dan-kini-bagaimana-orde-baru-membangun-kesehatan-rakyat/
Komentar