Netizensulut.com – Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD Terpilih Bisa Ikut Pilkada Tahun 2024 Tanpa Harus Mundur dari Jabatan sebelumnya, Simak penjelasan dari Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi telah menolak seluruh permohonan Ahmad Alfarizy dan Nur Fauzi Ramadhan terkait pengujian Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Sidang Pengucapan Putusan Nomor 12/PUU-XXII/2024 ini berlangsung di Ruang Sidang Pleno MK pada Kamis (29/2/2024) dengan Suhartoyo sebagai Ketua MK.
Menurut MK Soal Calon Anggota DPR, DPD dan DPRD
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyatakan bahwa calon anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD yang terpilih sebenarnya belum memiliki hak dan kewajiban konstitusional yang dapat disalahgunakan oleh mereka. Oleh karena itu, kekhawatiran para Pemohon sebagai pemilih terkait jaminan adanya pemilihan kepala daerah yang adil tidaklah relevan saat ini.
Menurut Mahkamah, masih terdapat waktu yang cukup antara pelantikan calon anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD terpilih dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang dijadwalkan pada tanggal 27 November 2024.
Oleh karena itu, syarat pengunduran diri bagi calon anggota DPR, anggota DPD, dan anggota DPRD yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah belum perlu diberlakukan. Namun, Mahkamah menegaskan agar KPU mensyaratkan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD terpilih yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik sebagai anggota dewan.
Terkait dengan ketentuan pengunduran diri bagi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD yang akan menjadi calon kepala daerah, Mahkamah menilai bahwa hal tersebut tidak akan mengubah pilihan pemilih.
Pemilih memiliki kebebasan untuk menilai kapabilitas dan integritas calon yang bersangkutan.
Mahkamah menekankan bahwa tidak diakomodirnya ketentuan pengunduran diri tersebut tidak akan memperluas makna norma Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada, namun hanya memerlukan penambahan syarat.
“Oleh karena itu, menurut Mahkamah belum diakomodirnya persoalan tersebut tidak harus memperluas pemaknaan ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada, namun hal tersebut cukup diakomodir dengan penambahan syarat. Bahwa pengunduran diri calon anggota DPR, DPD, DPRD sebelum ditetapkan sebagai anggota justru berpotensi mengabaikan prinsip kebersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945,” sampai Daniel.
Pentingnya Jadwal Tahapan Pilkada
Pentingnya menjalankan tahapan Pilkada sesuai jadwal yang telah ditetapkan juga disoroti oleh Mahkamah, Pilkada harus dilaksanakan secara konsisten untuk menghindari tumpang tindih dengan tahapan Pemilu 2024 yang belum selesai.
Mengubah jadwal dapat mengancam konstitusionalitas penyelenggaraan Pilkada serentak. Oleh karena itu, dalil-dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
MK Bacakan Amar Putusan
Ketua MK Suhartoyo membacakan Amar Putusan dari perkara ini, dimana permohonan para Pemohon ditolak baik dalam provisi maupun pokok permohonan.
“Dalam provisi, menolak permohonan provisi para Pemohon. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan Amar Putusan dari perkara ini.
Sudut pandang Berbeda
Namun, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) bahwa substansi permohonan para Pemohon seharusnya dikabulkan.
Menurut Guntur, ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada sepanjang frasa “menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan” inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk juga calon anggota DPR, DPD, dan DPRD yang terpilih berdasarkan hasil rekapitulasi suara yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum.
“Dengan demikian, menurut pendapat saya, Permohonan para Pemohon seharusnya dikabulkan (gegrond wordt verklaard),” kata Guntur dikutip dari Putusan Nomor 12/PUU-XXII/2024.
Dalam kesimpulannya, MK menolak permohonan para Pemohon dan menegaskan pentingnya menjalankan tahapan Pilkada sesuai jadwal yang telah ditetapkan untuk menjaga keserentakan Pilkada secara nasional.
Perlu diketahui, Ahmad Alfarizy dan Nur Fauzi Ramadhan adalah Mahasiswa yang mengajukan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam permohonan provisi, para Pemohon meminta MK memprioritaskan perkara ini, dan menjatuhkan putusan sebelum dimulainya masa PHPU atau sebelum dimulainya tahapan pendaftaran pasangan calon peserta Pilkada Tahun 2024.
Kemudian dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “juga menyatakan pengunduran diri sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berdasarkan rekapitulasi suara dari KPU.”
Sehingga menurut Pemohon, selengkapnya Pasal 7 ayat (2) huruf s berbunyi, “menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berdasarkan rekapitulasi suara dari KPU sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan.”
Komentar