Netizensulut.com, Manado – Pemutaran film dokumenter Climate Witness di 20 Kota di Indonesia terlaksana dengan baik, termasuk di Kota Manado, Kantor Barta1.com, Sabtu (04/03/2023).
Film inspiratif dari Nusa Tenggara Timur itu, menceritakan peran-peran masyarakat desa, adat, pemuda dan perempuan dalam menjaga dan merawat lingkungannya. Baik itu, melalui konservasi dan literasi, yang berdampak pada tatanan kehidupan berupa kelangsungan hidup.
Apa yang dilakukan oleh keempat inspiratif pada Film Climate Witness itu, menjadi pembahasan di Kota Manado, yang dimana Seasoldier Sulut menjadi penyelenggara pada pemutaran film tersebut. Yang didukung, langsung oleh Hutan Itu Indonesia (HII) dan Coaction Indonesia.
Pada kesempatan itu, Samuel Leivy Opa selaku narasumber pada kegiatan tersebut, mengungkapan inti dari film Climate Witness, adalah berkaitan dengan krisis iklim.
“Kita sudah melihat sendiri, perubahan iklim yang terjadi. Apalagi, di Kota Manado saat ini. Sebagai pengiat lingkungan, dan yang berkecimpung dengan dunia Mangrove. Sedianya, akan menyebut pohon Mangrove sangat besar manfaatnya.” Papar Samuel.
“Pohon Mangrove ini hidup dengan air garam. Kenapa Mangrove disebut sebagai benteng. Karena, Mangrove ini melindungi masyarakat pesisir dari abrasi, polusi dan angin kencang,” ungkapnya.
Ia mengatakan, bahwa banyak orang menyebut Mangrove itu sangat besar manfaatnya, karena bisa menyerap polusi di udara. Mendengar hal itu, seharusnya pohon Mangrove ini harus dijaga dan terus dilestarikan. “Apalagi, dunia kita saat ini semakin panas. Kita datang ke sini saja, menggunakan kendaraan menghasilkan karbon. Untuk itu, mari kita melakukan konservasi,” tuturnya.
“Seasoldier Sulut berdiri sejak tahun 2017, dan sudah menanam 1000 bibit Mangrove. Sebelum datang ke kegiatan pemutaran film ini, kami juga baru saja melakukan penanaman di daerah Tiwoho,” Ujar Opa kepada peserta yang mengikuti pemutaran film Climate Witness.
Jika berkaitan dengan cerita Film ini, di Bahowo ada masyarakat yang mengelola pembibitan Mangrove. Sehingga dari itu, mereka mendapatkan penghasilan dari Mangrove tersebut. Di sana, ada NGO lokal yang sudah masuk dan membantu mereka.
“Jika berkaitan dengan pendidikan atau Literasi. Seasoldier Sulut sudah melakukan sekolah pinggir pantai di Pulau Bangka, terkait ekosistem laut. Mereka juga, melalukan praktikum. Baik itu, menanam Mangrove, kemudian meneliti karang, lamun dan sampah di laut. Intinya, Mangrove ini berperan penting bagi kehidupan masyarakat pesisir saat ini. Jika ada, badai besar masyarakat pesisir kurang terdampak jika adanya Mangrove. Kemudian, mudah mendapatkan ikan dan biota laut lainnya, sebagai kebutuhan sehari-hari atau pun penambah ekonomi,” terangnya.
Film ini ada karena kolaborasi. Pastinya, Seasoldier Sulut tidak bisa bergerak sendiri. Untuk itu, tentunya setiap pegiat lingkungan harus berjalan secara bersama-sama.
Pada kesempatan yang sama, penggagas Seasoldier Sulut Rio Noval Puasa menyebut, kesimpulan dari pemutaran film ini adalah konektifitas di dalam kehidupan. Konektifitas ini, bagaimana pengaruh hulu ke hilir. Dari hilir ke hulu. Bagaimana, pengaruh dataran tinggi ke rendah, kemudian dari rendah ke tinggi. Dan itu adalah konektifitas.
“Film pertama berkaitan dengan pentingnya mangrove bagi masyarakat pesisir. Kedua, mengenai dengan hutan adat, dimana ada hutan dan manusianya yang mengaturnya. Ketiga, tentang edukasi kepada anak-anak untuk mencari agen perubahan pada tempatnya masing-masing. Dan keempat itu, tentang mitigasi di daerah pesisir,” tambah puasa sembari menyebut keempat tokoh inspiratif dari Nusa tenggara timur, semua perannya terkonektifitas.
Menurut Puasa, jika di hulu hutannya rusak. Maka akan, berdampak pada kehidupan manusia. Melihat hal itu, baru saja terjadi di Kota Manado, dimana cura hujan yang begitu deras dan di daerah dataran rendah terjadi banjir. Kemudian, wilayah pesisir menanggung beban dari kejadian tersebut.
“Penggundulan hutan di dataran tinggi membawah sedimentasi air yang kotor, kemudian tanah berpindah ke pesisir. Dari hal itu, terjadi perubahan. Contohnya, di muara-muara Sungai di Kota Manado, mulai dari Cempaka, Jembatan Megawati sampai ke Jembatan Soekarno, Sario, dan Malalayang. Keempat sungai ini ketika hujan deras, terjadi sedimentasi. Itu diakibatkan, dari dataran tinggi, sehingga terjadi penumpukan di dataran pesisir,” sahutnya.
Maka dari itu, menurut Puasa, Konektifitas bergantung pada manusia itu sendiri. Dimana, pengelolaannya untuk hidup. ” Kita sadar, bahwa setiap tahunnya, pasti ada orang-orang baru hilang. Ada juga, yang bertahan. Tetapi, satu hal yang saya tanamkan kepada teman-teman, semua harus dimulai dari diri sendiri,” katanya.
Sedangkan, Koordinator Seasoldier Sulut Ardi Sehangunaung menjelaskan, kegiatan pemutaran film ini dilakukan di 20 Kota di Indonesia sejak tanggal 23 Februari 2023 – 4 Maret 2023. Dan, kegiatan berkolaborasi dengan HII dan Coaction Indonesia. Kegiatan berkaitan dengan iklim. “Semoga dari pemutaran film ini bisa berdampak bagi kehidupan kita dan bisa dipraktikan,” pungkasnya.
Pada kegiatan pemutaran film itu, hadir pula dari berbagai pegiat lingkungan. Baik itu, MPA Hyawata, Marabunta, dan Khatulistiwa, KPA Lilarung, North Sula, Volunteer Seasoldier Sulut dan Kartens.
baca juga:
Komentar